Pada 1970-an sejumlah warga Jepang membuka usaha budidaya mutiara di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Orang-orang dari Negeri Sakura itu sangat tertutup. Mereka tak rela teknologi budidaya mutiaranya diketahui warga setempat.

Setiap kali proses produksi dilakukan, terutama saat membedah kerang-kerang penghasil mutiara (Pinctada maxima), semua pekerja yang bukan orang Jepang harus keluar dari lokasi budidaya, termasuk Ko Seng (62), warga Banggai Kepulauan, yang membantu permodalan PT Para Mutiara. Ini adalah perusahaan budidaya mutiara milik warga negara Jepang, Fukuda.

Sebagai orang yang memberi bantuan modal pada saat Fukuda mengalami krisis keuangan, Ko Seng bebas keluar masuk lokasi budidaya PT Para Mutiara. Namun, saat operasi bedah kerang mutiara dilakukan, ia diminta keluar. Bahkan, ia diusir jika ketahuan mengintip.

“Saya suka curi-curi, melihat bagaimana dia membedah kerang,” kata Hermas Josep Arifin, yang oleh warga Banggai Kepulauan akrab dipanggil Ko Seng itu.

Fukuda memang memiliki cara lain untuk membalas jasa Ko Seng. Tahun 1982 ia mengajak Ko Seng melancong ke Hongkong dan Jepang, melihat pusat-pusat perdagangan mutiara. Di Jepang, Ko Seng diajak meninjau lokasi budidaya mutiara yang dikelola masyarakat setempat secara sederhana.

“Saya kagum akan semangat dan keuletan orang Jepang. Walau modal pas-pasan, mereka berhasil mengembangkan budidaya mutiara. Melihat itu, saya bertekad membuka budidaya mutiara di Banggai tanpa harus punya modal besar lebih dulu,” tuturnya.

Satu tahun kemudian, Ko Seng mewujudkan tekadnya. Ia menutup usaha perdagangan kopra yang digelutinya selama ini. Menurut dia, usaha budidaya mutiara memerlukan perhatian besar. Maka, ia pun mengajak iparnya menanamkan modal.

Pada saat bersamaan, Fukuda memindahkan usaha mutiara ke Jepang. Ia menyerahkan semua peralatan budidaya mutiara kepada Ko Seng. Berbekal peralatan bekas itu, ditambah sedikit peralatan baru, Ko Seng mulai berusaha budidaya mutiara.

Digagalkan

Untuk memulai usaha, Ko Seng mempekerjakan Nisioka, ahli bedah kerang mutiara. Sebelumnya Nisioka bekerja di PT Nisin Samudera Mutiara, perusahaan budidaya mutiara pertama di Banggai Kepulauan.

Nisioka lalu meminta Ko Seng menyediakan kerang sebanyak 300 ekor. Namun, setelah kerang disediakan, Nisioka malah pulang ke Jepang dan baru kembali ke Banggai satu tahun kemudian.

Setibanya di Banggai pun Nisioka tak kunjung mengoperasi kerang yang disiapkan Ko Seng. Ia meminta Ko Seng menyediakan lagi kerang sebanyak 2.000 ekor. Ketika dipenuhi, Nisioka kembali berulah. Dia pergi ke Jepang tanpa alasan jelas.

“Saat itu saya bingung sekali. Tidak tahu kerangnya mau diapakan,” ujar Ko Seng.

Berbeda dengan proses pembentukan mutiara secara alami, budidaya mutiara dilakukan dengan cara membedah bagian bibir kerang dewasa (panjangnya sekitar 15 sentimeter). Pada bibir yang dibedah lalu dimasukkan nucleus, kulit kerang yang dibulatkan, ukurannya kira-kira dua kali butiran gula pasir.

Nucleus yang diimpor dari Jepang ini makin lama semakin membesar oleh tumpukan air liur kerang dan satu sampai dua tahun kemudian menjadi mutiara yang ukurannya bisa mencapai sebesar kelereng.

Walau terkesan sederhana, membedah bibir kerang memerlukan teknik khusus. Teknik inilah yang belum dipahami Ko Seng sehingga dia bergantung kepada Nisioka.

Awal tahun 1986 atau hampir tiga tahun setelah Ko Seng memulai usaha budidaya mutiara, Nisioka kembali lagi ke Banggai. Saat itulah dia baru mengoperasi 2.000 ekor kerang yang disiapkan Ko Seng.

Satu setengah tahun kemudian, kerang-kerang yang dioperasi itu siap dipanen. Ko Seng berharap mendapat ratusan butir mutiara untuk dijual, menggantikan modal yang hampir habis. Namun, ketika membuka cangkang kerang-kerang itu, tak satu pun mutiara ditemukan.

“Ternyata Nisioka sengaja menggagalkannya karena saat operasi kerang, saya memerhatikan dia terus,” ujar Ko Seng.

Ketika itu modal Ko Seng hampir habis. Iparnya tak lagi bersedia menanamkan modal, sedangkan Nisioka pulang ke Jepang untuk selamanya. “Tetapi saya pantang mundur. Prinsip saya, kenapa orang Jepang bisa, saya tidak,” ujar Ko Seng.

Belajar sendiri

Ko Seng, yang percaya bisa melakukan sesuatu jika orang lain bisa, mulai mempelajari cara mengoperasi saibo, bagian bibir kerang yang memproduksi lendir. Lendir inilah yang akan membentuk mutiara. Jika salah membedah, saibo tak akan memproduksi lendir lagi.

Dalam kurun waktu 1986-1989 Ko Seng mengoperasi sedikitnya 10.000 ekor kerang. Namun, semuanya gagal, tak seekor pun menghasilkan mutiara. Ko Seng lalu mengajak seorang dokter melakukan pembedahan. Sayang, lagi-lagi ia harus merasakan pahitnya kegagalan. Ribuan kerang yang ia operasi bersama dokter itu mati.

Tak putus asa, Ko Seng terus belajar membedah bibir kerang. Ia pelajari anatomi dan urat-urat daging kerang. Ia pelajari juga sifat dan daya tahan tubuh kerang.

Setelah merasa cukup paham, tahun 1989 dia mengoperasi 2.000 ekor kerang. Dua tahun kemudian, kerang-kerang itu dipanen. Usaha Ko Seng tak sia-sia. Ia mendapat lebih dari 600 butir mutiara kualitas bagus. Untuk seorang pemula, hasil itu tergolong banyak. “Sembilan tahun saya berjuang, baru mendapatkan hasil,” ungkapnya.

Sejak itu ia terus mengembangkan budidaya mutiara. Sistem penangkaran ia perbarui. Karyawannya pun bertambah, dari lima orang menjadi 27 orang. Selain siput alam, ia juga mulai membudidayakan kerang briding (breeding), kerang yang dikembangbiakkan dalam laboratorium. Tingkat kematian kerang ini jauh lebih rendah dari kerang alam, meski harus didatangkan dari Maluku.

Dalam waktu dekat, dia akan menambah lokasi budidaya mutiara itu. Dia juga akan membuka pusat pembibitan kerang briding.

Sampai sekarang Ko Seng adalah satu-satunya warga Banggai Kepulauan yang berhasil membudidayakan mutiara. Selain untuk pasaran Indonesia, mutiara hasil budidaya dia ekspor ke Jepang, Hongkong, dan China.

Walau dijual dengan harga relatif lebih murah dari perusahaan lain, kualitasnya tak kalah dari mutiara produksi perusahaan-perusahaan asing yang bertebaran di sekitar pesisir pantai Sulawesi.

Saat ditanya berapa mutiara yang dihasilkannya setiap tahun, Ko Seng enggan menyebut angka pasti. “Ribuan butirlah,” katanya. Angka yang menggiurkan, mengingat harga pasaran satu butir mutiara dari Rp 200.000 sampai Rp 1 juta, tergantung bentuk, besar, dan warnanya.

Sumber : Kompas